RADAR JOGJA – USAI menyambangi makam para raja Mataram di Kotagede, pengunjung pasti akan disuguhi dengan berbagai makanan maupun cendera mata lain. Kue kipo menjadi salah satu daftar jajanan tradisional yang wajib dicoba.
Jogja memang kaya akan kuliner. Kota yang terkenal dengan sebutan Kota Gudeg ini banyak menyajikan makanan tradisional yang sayang untuk dilewatkan.
Kipo. Namanya sudah tidak asing lagi bagi para pecinta jajanan tradisional. Ternyata, kue dengan tekstur kenyal berwarna hijau ini banyak digemari oleh pembeli. Harganya pun tidak terlalu menguras kantong. Rp 2.500 per bungkus yang berisi lima kue.
Terletak di Jalan Mondorakan 27, Kotagede, Jogja, Istri Rahayu melanjutkan usaha rumahan kue kipo yang sudah turun temurun dari mendiang neneknya. “Dulu pertama kali diproduksi oleh nenek saya, Mangun Irono tahun 1946,” jelas Istri.
Dulunya, Mangun Irono bersama anaknya, Djito Raharjo menjajakan kue kipo di depan rumah yang letaknya di pinggir jalan. Setelah meninggal, kue tersebut hampir punah. Kemudian, Djito terus mengembangkan usaha kue kipo hingga banyak yang memproduksinya sendiri.
Nama kue kipo berawal dari banyaknya orang yang bertanya iki opo. Dari pertanyaan tersebut akhirnya sepakat untuk menjadikannya sebagai nama kue hijau itu. Kipo merupakan akronim dari iki opo.
Kue ini memiliki bentuk lonjong. Bahan utamanya dari tepung ketan. Isinya terdiri dari parutan kelapa dan gula jawa yang dicairkan. Sedangkan warna hijaunya berasal dari daun suji atau daun katu sehingga menimbulkan aroma khas dari jajanan tersebut.
Setelah adonannya dibuat, kemudian dicetak pada piring tanah liat, lalu dipanggang menggunakan alas daun pisang. Ketika hampir masak, baru ditambahkan parutan kelapa dan gula jawa. Dilipat menjadi dua lalu dipanggang lagi hingga matang.
Meski bisa dikatakan sebagai jajanan pasar, tapi kue ini memiliki cita rasa yang khas dan pas di lidah. Ketika masih hangat dan dibuka dari bungkusnya, aroma semerbak khas panggangan langsung tercium. Ini membuat pembeli semakin ingin mencicipinya. “Kami dari dulu berusaha menjaga resepnya agar tetap khas,” ujar Istri dengan memperlihatkan bungkusan kue kipo.
Akan tetapi, kue ini tidak bisa bertahan lebih dari 24 jam. Karena tidak menggunakan bahan pengawet. Semua masih diolah secara tradisional. Dan merupakan makanan basah yang notabene harus segera dimakan.
Semenjak wabah Covid-19 datang, warung kue kipo Bu Djito ini berhenti memproduksi. “Sehari 20 bungkus saja kadang tidak habis,” keluhnya.
Istri baru memproduksinya kembali pada Juni lalu. Umumnya, para pembeli menikmatinya sebagai kudapan saat rapat, hajatan, maupun oleh-oleh. Istri berharap, keadaan bisa pulih seperti dulu lagi. Sehingga penjualan kue kiponya akan semakin ramai. (cr1/bah)
Kipo, Olahan Kue Hijau yang Unik - Jawa Pos
Read More
No comments:
Post a Comment