TANPA roti buaya pernikahan adat Betawi terasa kurang genap. Sepasang roti berbentuk buaya dengan ukuran besar melambangkan pengantin lelaki dan ukuran kecil melambangkan pengantin perempuan acap jadi seserahan wajib pada pernikahan adat Betawi.
"Ukuran roti buaya berupa buaya besar dan kecil menggambarkan lelaki dan perempuan, sesuai dengan karakternya di alam karena buaya termasuk binatang dengan ciri dismorfisme seksual, sebab ukuran buaya jantan lebih besar daripada buaya betina," tulis Vera Budi Lestari Sihombing dkk pada "Integrasi Pengetahuan Lokal dan Ilmu Pengetahuan; Penelaahan Roti Buaya dalam Perspektif Zoologi," jurnal Patrawidya, Vol. 20, No.2, Agustus 2019.
Bentuk buaya dipilih, pada Kuliner Betawi: Selaksa Rasa & Cerita karya Akademi Kuliner Indonesia, karena dianggap sebagai simbol janji setia mempelai lelaki pada mempelai perempuan lantaran masyarakat Betawi percaya buaya hanya nikah sekali seumur hidup sehingga dianggap hewan paling setia.
Di masa lalu, ketika harga gandum sebagai bahan baku tepung masih tinggi maka masyarakat Betawi membuat roti buaya dengan singkong. Roti buaya sengaja dibuat bantat karena memang bukan untuk konsumsi, malahan jika dimakan akan beroleh bala bagi kedua mempelai.
Meski terkesan sederhana, justru filosofi roti buaya dalam pernikahan adat Betawi begitu penting. Bahkan filosofi tersebut menggugurkan anggapan istilah 'lelaki buaya darat' merujuk pada seseorang nan gemar berganti pasangan. Selain roti buaya, di dalam penyelenggaraan pernikahan adat di pelbagai suku antero Nusantara terdapat kue tradisional lain nan memiliki makna filosofi mendalam bagi kedua mempelai. Apa saja?
Baca juga:
Panduan Buat Kamu Ketika Masih Bingung Datang ke Hajatan Mantan
Di Indonesia terdapat berbagai pernikahan adat dari berbagai tradisi menghadirkan pula kue tradisonal ikonik dengan filosofinya masing-masing. Selain roti buaya, terdapat kue tradisional lain nan wajib ada pada upacara pernikahan adat, meliputi wajik, bannang-bannang, hingga baruasa.
Wajik disediakan sebagai hantaran atau hidangan jajanan untuk para tamu undangan di berbagai hajatan, khususnya masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kue terbuat dari campuran beras ketan, gula merah, dan parutan kelapa ini memang menjadi camilan masyarakat Jawa dari masa lalu hingga kini.
Kue ini melambangkan harapan untuk kedua mempelai agar bisa selalu bersama dan "lengket" sampai lanjut usia. Selain itu, pengantin juga diharapkan selalu sabar dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan melewati kerikil kehidupan.
Baca juga:
Selanjutnya, tidak kalah populer adalah kue klepon. Klepon nan sempat viral karena diperdebatkan warganet dengan onde-onde tersebut awalnya diperkenalkan pertama kali di Negeri Kincir Angin oleh seorang imigran Indonesia berasal di Pasuruan, Jawa Timur. Klepon diambil dari bahasa Jawa dengan arti indung telur hewan, mengacu pada bentuknya bulat dan kecil. Masyarakat Jawa biasanya menyajikan klepon bersamaan dengan getuk dan cenil.
Dari Jawa, beralih ke kue tradisional khas Sulawesi Selatan, bannang-bannang. Kue berbahan dasar dari tepung beras dan gula merah ini memiliki bentuk seperti benang kusut dan kerap disajikan dalam lamaran atau pernikahan.
Benang kusut nan tidak tahu pangkal dan ujungnya menggambarkan manusia tidak perlu mempermasalahkan asal usulnya, asalkan tiap perbuatan dilakukan dengan niat mulia. Dalam konteks rumah tangga, Bananng-bannang dilambangkan sebagai satu kesatuan saling terkait dan hanya maut memisahkan. Semakin kusut, maka semakin sulit dipisahkan.
Sulawesi Selatan juga punya kue bernama baruasa dengan rasa gurih dan manis. Bahan utamanya tepung beras dan kelapa parut sangrai dicampur gula merah. Kue ini bahkan bisa bertahan sebulan karena tidak memiliki bahan pengawet. Ini juga berhubungan dengan filosofi pernikahan, agar usia rumah tangga pasangan abadi hingga maut memisahkan. (and)
Baca juga:
Kenali Filosofi Kue Tradisional Ikonik Seserahan Hajatan Pernikahan - Merah Putih
Read More
No comments:
Post a Comment